Saturday, February 18, 2012

UPACARA RITUAL DAN PENGOBATAN TRADISIONAL KARO


Jamilah Nasution
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor


PENDAHULUAN

Alam pada hakekatnya menyediakan sumber daya alam agar dapat dimanfaatkan oleh penghuninya untuk kelangsungan hidup. Manusia, sebagai salah satu bagian dari penghuni alam diketahui paling mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dimana ia tinggal, dibandingkan dengan makhluk lainnya. Menurut Walujo (1992), hubungan keterkaitan dan saling ketergantungan ini lebih disebabkan karena manusia memiliki daya cipta, rasa dan karsa. Melalui daya-daya tersebut dan kemudian atas dasar pengalamannya yang di uji selama bertahun-tahun dan bahkan berabad-abad lamanya, maka manusia mengalami perkembangannya.
Suku Karo adalah salah satu suku (etnis) yang ada di Propinsi Sumatera Utara, mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Aceh Tenggara dan sebagian dari Dairi. Kita ketahui bahwa setiap suku bangsa memiliki identitas tersendiri yang merupakan ciri khas mereka yang didukung oleh gagasan kolektif secara bersama-sama yang disebut dengan kebudayaan. Masyarakat Karo berbudaya dengan sistem kekerabatan adat istiadat yang masih kental sebagai salah satu aset budaya bangsa Indonesia yang masih tetap lestari. Potensi ini tentunya merupakan salah satu modal dasar yang sangat tiggi nilainya bagi Pemerintah Kabupaten Karo dalam mengelola potensi alam dan wilayah serta potensi masyarakat untuk membangun daerah ini, guna kemajuan bangsa dan negara, khususnya bagi Kabupaten Karo sendiri (Bukit,2005).
Pada umumnya masyarakat tradisional di Indonesia, masyarakat Karo mengatur kehidupan sehari-harinya berpegang pada keselarasan hidup yang terpranatakan dalam adat istiadat. Sehingga masyarakat Karo sangat mempercayai bahwa manusia sejak lahir sampai pada kematiannya tidak lepas dari sifat-sifat sosialnya. Oleh karena itu, masyarakat Karo menggunakan dan memanfaatkan sumber daya alam tumbuhan sebagai salah satu bentuk pemahaman bagaimana orang Karo mengelola sumber daya alam yang ada disekitarnya. Pola yang demikian memperkuat dugaan kita bahwa orang Karo sudah mengenali sistem pemilahan atau pengelompokkan keanekaragaman jenis tumbuhan yang digunakan dan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, antara lain kebutuhan untuk obat-obatan.
Meskipun dunia pengobatan makin berkembang dengan pesatnya bukan berarti pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan ramuan telah menghilang. Dalam hal ini orang Karo dapat dipastikan telah mampu mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan yang dikenal dan dimanfaatkan untuk bahan obat.

KONSEP PENGOBATAN TRADISIONAL
Memahami tentang konsep yang dimiliki oleh pengobat tradisional dalam praktek pengobatan tradisional sangatlah diperlukan, dengan diketahuinya konsep tersebut diharapkan dapat diikuti sesuai dengan jalan pikiran serta alasan dilakukannya suatu tindakan yang dilakukan oleh pengobat tradisional ketika seorang penderita datang meminta pertolongan. Konsep yang dimaksud disini tentu meliputi konsep yang ada hubungannya dengan kesehatan.
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 pasal 47 menyatakan pengobatan tradisional yang mencakup cara, obat dan pengobatan atau perawatan cara lainya dapat dipertanggungjawabkan maknanya. Pengobatan tradisional dan obat tradisional telah menyatu dengan masyarakat, digunakan dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan baik di desa maupun di kota-kota besar. Untuk ini pelayanan kesehatan tradisional merupakan potensi besar karena dekat dengan masyarakat, mudah diperoleh dan relatif lebih murah daripada obat moden. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran ari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sediaan obat tradisional yang digunakan masyarakat yang saat ini disebut sebagai Herbal Medicine atau Fitofarmaka yang perlu diteliti dan dikembangkan. Menurut Keputusan Menkes RI No. 761 Tahun 1992, Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Pemilihan ini berdasarkan atas, bahan bakunya relatif mudah diperoleh, didasarkan pada pola penyakit di Indonesia, perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar, memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita, dan memerlukan satu-satunya alternatif pengobatan.

GURU (TABIB) DALAM MASYARAKAT KARO
Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang berperan sebagai tabib. Beberapa orang Karo lainnya mensinonimkan kata guru dengan kata dukun. Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara-upacara tradisional bagi orang Karo.
Upacara tradisional dapat didefinisikan sebagai upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu sampai sekarang dalam bentuk tata cara yang relatif tetap. Pendukungan terhadap upacara itu dilakukan masyarakat karena dirasakan dapat memenuhi suatu kebutuhan, baik secara individual maupun kelompok bagi kehidupan mereka (Dept.P&K, 1985). Salah satu hal yang menyebabkan besarnya perhatian para ahli mengenai upacara atau ritus-ritus keagamaan disebabkan karena upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang paling “lahir”, sehingga lebih mudah diamati (Koentjaraningrat, 1985). Upacara keagamaan itu sendiri berhubungan dengan sistem kepercayaan yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Upacara-upacara keagamaan tradisional yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah upacara yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut dengan pemena.
Bagi orang Karo, guru adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti : meramal, membuat upacara ritual, berhubungan dengan roh atau makhluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain. Guru dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan.
Secara harfiah sama artinya dengan kata “guru” (lehrer) dalam bahasa Indonesia. Tetapi sebagai sebuah peranan biasanya diartikan dengan kata “dukun” dalam bahasa Indonesia (Ginting, 1990). Dalam tulisannya yang berjudul “De Bataksche Guru” dalam Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap, Neumann (1910) memandang guru sebagai suatu “kumpulan informasi”, ahli sejarah, ahli penyembuhan, ahli theologi, ahli ekonomi dan juga merupakan suatu “ensiklopedi” yang mengembara ditengah-tengah masyarakat. Dialah yang telah mengumpulkam, mendaftar dan memakai sebagian besar pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam masyarakat. Untuk melakukan suatu upacara dengan baik, guru harus mengikuti aturan-aturan tertentu, suatu hal yang memperlihatkan bahwa kemampuannya memang banyak. Dia harus mengetahui cerita yang menjelaskan asal upacara itu yang sering berkaitan dengan asal mula dunia. Dia harus mengetahui tumbuhan-tumbuhan mana yang diperlukan untuk melaksanakan suatu upacara dan dia harus mengetahui tindakan-tindakan dan mantera-mantera yang perlu dijelaskan kepada peserta-peserta lainnya. Guru juga adalah pemelihara cerita-cerita lama, tradisi-tradisi dan mitos-mitos yang merupakan harta karun sastra Batak (Ginting, 1986 ).
Seperti yang dituturkan oleh seorang guru perban pangir di Desa Kidupen (lokasi penelitian penulis) yang dipanggil “Pa Jawi”. Pa Jawi adalah seorang guru pembuat langir (berlangir). Pa Jawi harus menentukan berapa jumlah tumbuh-tumbuhan yang harus dipakai sebagai bahan upacara dan juga mantera-mantera yang diucapkan untuk jenis penyembuhan yang berbeda pula. Untuk membuat pangir seorang pasien yang mendapat mimpi buruk akan dikumpulkan bahan-bahan seperti : jeruk empat macam dan setiap macam berjumlah empat buah, daun-daunan tertentu seperti besi-besi, sangka sempilet, kalinjuhang, dan lan-lain, juga beberapa ruas tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Karo disebut buku-buku, seperti : ruas tebu, ruas batang bambu, ruas batang jagung, dan lain-lain. Dimana pemilihan jenis tumbuhan ini disesuaikan dengan sifat dari tumbuhan itu sendiri yang secara simbolik dikaitkan dengan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sifat tumbuhan itu diharapkan menyatu dengan tubuh pasien dan mencapai kembali keseimbangannya dan sembuh dari penyakit. Pa Jawi mengatakan bahwa :
“si sungkuni kai si akapna kurang ibas dagingna, kadena si mesui, e maka si ban pangirna, si leboh guru si deban si dua lapis perngenin matana, banci idahna ise si reh i jah nari, ras pe ia ngerana, i sungkun kai kin atena, pemindona makana ia engganggui, adi enggo si eteh maka si ban pangirna, bereken kai si i pindo si reh i jah nari, gelah ia laus, kenca bage e maka si sakit pe malem ka lah ia, malem pinakit”.

(“ Kita bertanya apa yang dianggap pasien kurang enak di badannya, apa yang sakit, lalu kita buat pangirnya, dan kita panggil guru yang dapat melihat mahluk halus dan yang mampu berkomunikasi dengan mahluk halus itu, ditanya apa kemauannya sehingga ia menganggu si pasien, setelah diketahui lalu dibuatkan pangir untuk si pasien dan dipenuhi permintaan mahluk halus itu, jika demikian, maka sembuhlah si pasien, penyakitnya sembuh”). Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa  seorang guru harus mampu terlebih dahulu mendeteksi atau mendiagnosa apa penyebab keadaan sakit atau keadaan tidak seimbang dalam diri si individu (pasien). Kemudian tahap berikutnya menentukan jenis upacara penyembuhan dan pengobatan; jenis obat dan jenis mantera yang diperlukan.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Karo, terdapat beberapa sebutan untuk jenis guru, seperti : guru tua dan guru si nguda / guru  sibeluh niktik wari (ahli dalam melihat hari-hari baik dengan perhitungan waktu, arah dan tempat), guru nendung (peramal dengan bertanya pada roh-roh gaib) disebut juga sebagai guru si erkata kerahung / guru perseka-seka, yaitu seseorang yang memiliki suara siulan di leher sebagai ucapan roh gaib, guru si dua lapis pernin matana (seseorang yang dapat melihat roh-roh gaib), guru perjinujung (seseorang yang disertai dan dibantu oleh roh-roh gaib untuk melaksanakan penyembuhan dan upacara-upacara ritual), guru si baso (seseorang yang dapat berhubungan dan mengundang roh-roh gaib untuk memasuki tubuhnya sehingga kesurupan dan ahli dalam upacara pemanggilan roh-roh orang yang telah meninggal, dan mengundang roh tersebut untuk memasuki tubuhnya sebagai medium (perantara) untuk berbicara dengan kerabat-kerabat yang masih hidup), guru perseluken (seseorang yang ahli mengundang roh-roh gaib memasuki tubuh orang lain sehingga kemasukan), guru nabas (seorang ahli mantera), guru permag-mag (seseorang yang ahli dalam penyampaian doa melalui nyanyian), guru pertapa (pertapa), guru pertawar (penyembuh dengan ramuan obat-obatan), guru perbegu ganjang (pemelihara roh-roh jahat), guru peraji-aji (ahli guna-guna atau peramu racun), guru baba-baban (ahli jimat disebut juga guru perberkaten), guru si majak panteken (ahli membuat pangir/langir baik sebagai obat penyembuh, penolak bala, atau sebagai tangkal, biasanya guru ini mempunyai apa yang disebut tungkat malaikat) (Bangun, 1986).
Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja yang dapat menjadi seorang guru. Peran sebagai guru dianggap telah ditentukan dari sejak lahirnya seseorang dengan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu. Bahkan peran sebagai guru telah dianggap dimilki seseorang sejak dia berada dalam kandungan Ibunya berdasarkan kata Dibata si mada tenuang atau kehendak dari Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai guru sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum termasuk para guru mengatakan bahwa seseorang jika proses kelahirannya tidak istimewa, tidak lain dari pada yang lain ataupun tidak memiliki ciri fisik tertentu, tidak akan dapat menjadi guru jenis apa pun juga  (Bangun, 1986).

KESIMPULAN
Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih luas mengenai keragaman budaya dan praktek-praktek upacara ritual atau ritus-ritus tradisional dari kebudayaan Karo. Beberapa dari upacara-upacara ritual ini masih ditemukan tetap dilaksanakan dibeberapa desa di wilayah Karo, terutama dengan tujuan untuk penyembuhan beberapa penyakit demi mencapai keseimbangan dalam diri individu yang disebut dengan keadaan sehat. Upacara-upacara ritual tersebut ada yang bersifat individual dan ada juga yang bersifat komunal yang meliputi kepentingan suatu penduduk desa. Untuk tujuan komunal, ritual itu cenderung dimaksudkan untuk mencegah malapetaka dalam tingkat desa, atau untuk keselamatan penduduk desa dari suatu ancaman keselamatan atau bencana alam.
Diharapkan agar kiranya karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kajian-kajian ritual atau religi untuk lebih memahami keragaman budaya bangsa Indonesia. Satu hal yang perlu ditekankan bahwa dalam mengkaji kebudayaan lain, kita harus membuang jauh-jauh sikap “enthnocentrisme” yang hanya menganggap bahwa kebudayaan kita selalu lebih baik dari kebudayaan orang lain. Melainkan, kita harus mengembangkan sikap “relativisme budaya”, dimana kita harus melihat bahwa kebudayaan lain itu sebagaimana adanya, baik dan berguna terutama bagi pendukung kebudayaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Inti Idayu Press. Jakarta.

Bukit, Basita. 2005. Seni & Budaya – Tirai, Menguak Gairah Pariwisata Karo. http://www.waspada.co.id. [Update : 4 April 2007, 8:24 PM].

Dept. P&K. RI. 1985. Upacara Tradisional Daerah Jambi. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta.

Ginting, J.R. 1986. Pandangan Tentang Gangguan Jiwa dan Penanggulangannya Secara Tradisional Pada Masyarakat Karo. Skripsi Sarjana, Jur. Antropologi-FISIP-USU.

Ginting, J.R. 1990. Karo Guru and His Practices. Artikel untuk Katalog Museum Stuttgard-Jerman.

Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Neumann, J.H. 1910. “MNZG” (1-18) dalam Pandangan Tentang Gangguan Jiwa dan Penanggulangannya Secara Tradisional Pada Masyarakat Karo. Skripsi Sarjana : Ginting J.R. (1986), Jur. Antropologi-FISIP-USU.

Walujo, Eko Baroto. 1992. Tumbuhan Dalam Kehidupan Tradisional Masyarakat Dawan Di Timor. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnoboani I. Cisarua, 19 – 20 Februari 1992.


0 comments:

Post a Comment