Jamilah Nasution
Mahasiswa
Sekolah Pascasarjana, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor
PENDAHULUAN
Alam pada hakekatnya menyediakan sumber daya alam agar
dapat dimanfaatkan oleh penghuninya untuk kelangsungan hidup. Manusia, sebagai
salah satu bagian dari penghuni alam diketahui paling mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan alam dimana ia tinggal, dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Menurut Walujo (1992), hubungan keterkaitan dan saling ketergantungan ini lebih
disebabkan karena manusia memiliki daya cipta, rasa dan karsa. Melalui
daya-daya tersebut dan kemudian atas dasar pengalamannya yang di uji selama
bertahun-tahun dan bahkan berabad-abad lamanya, maka manusia mengalami
perkembangannya.
Suku Karo adalah salah satu suku (etnis) yang ada di
Propinsi Sumatera Utara, mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran
tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Aceh Tenggara dan sebagian
dari Dairi. Kita ketahui bahwa setiap suku bangsa memiliki identitas tersendiri
yang merupakan ciri khas mereka yang didukung oleh gagasan kolektif secara
bersama-sama yang disebut dengan kebudayaan. Masyarakat Karo berbudaya dengan
sistem kekerabatan adat istiadat yang masih kental sebagai salah satu aset
budaya bangsa Indonesia yang masih tetap lestari. Potensi ini tentunya
merupakan salah satu modal dasar yang sangat tiggi nilainya bagi Pemerintah
Kabupaten Karo dalam mengelola potensi alam dan wilayah serta potensi
masyarakat untuk membangun daerah ini, guna kemajuan bangsa dan negara,
khususnya bagi Kabupaten Karo sendiri (Bukit,2005).
Pada umumnya masyarakat tradisional di Indonesia,
masyarakat Karo mengatur kehidupan sehari-harinya berpegang pada keselarasan
hidup yang terpranatakan dalam adat istiadat. Sehingga masyarakat Karo sangat
mempercayai bahwa manusia sejak lahir sampai pada kematiannya tidak lepas dari
sifat-sifat sosialnya. Oleh karena itu, masyarakat Karo menggunakan dan
memanfaatkan sumber daya alam tumbuhan sebagai salah satu bentuk pemahaman
bagaimana orang Karo mengelola sumber daya alam yang ada disekitarnya. Pola
yang demikian memperkuat dugaan kita bahwa orang Karo sudah mengenali sistem
pemilahan atau pengelompokkan keanekaragaman jenis tumbuhan yang digunakan dan
dimanfaatkan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, antara lain kebutuhan untuk
obat-obatan.
Meskipun dunia pengobatan makin berkembang dengan pesatnya
bukan berarti pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan
sebagai bahan ramuan telah menghilang. Dalam hal ini orang Karo dapat
dipastikan telah mampu mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan yang dikenal dan
dimanfaatkan untuk bahan obat.
KONSEP PENGOBATAN TRADISIONAL
Memahami tentang konsep yang dimiliki oleh pengobat
tradisional dalam praktek pengobatan tradisional sangatlah diperlukan, dengan
diketahuinya konsep tersebut diharapkan dapat diikuti sesuai dengan jalan
pikiran serta alasan dilakukannya suatu tindakan yang dilakukan oleh pengobat
tradisional ketika seorang penderita datang meminta pertolongan. Konsep yang
dimaksud disini tentu meliputi konsep yang ada hubungannya dengan kesehatan.
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 pasal 47 menyatakan pengobatan
tradisional yang mencakup cara, obat dan pengobatan atau perawatan cara lainya
dapat dipertanggungjawabkan maknanya. Pengobatan tradisional dan obat
tradisional telah menyatu dengan masyarakat, digunakan dalam mengatasi berbagai
masalah kesehatan baik di desa maupun di kota-kota besar. Untuk ini pelayanan
kesehatan tradisional merupakan potensi besar karena dekat dengan masyarakat,
mudah diperoleh dan relatif lebih murah daripada obat moden. Obat tradisional
adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran ari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sediaan
obat tradisional yang digunakan masyarakat yang saat ini disebut sebagai Herbal Medicine atau Fitofarmaka
yang perlu diteliti dan dikembangkan. Menurut Keputusan Menkes RI No. 761 Tahun
1992, Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang
memenuhi persyaratan yang berlaku. Pemilihan ini berdasarkan atas, bahan bakunya
relatif mudah diperoleh, didasarkan pada pola penyakit di Indonesia, perkiraan
manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar, memiliki rasio resiko dan
kegunaan yang menguntungkan penderita, dan memerlukan satu-satunya alternatif
pengobatan.
GURU (TABIB) DALAM MASYARAKAT
KARO
Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang
berperan sebagai tabib. Beberapa orang Karo lainnya mensinonimkan kata guru dengan kata dukun. Guru ini sangat berperan dalam
ritual-ritual keagamaan atau upacara-upacara tradisional bagi orang Karo.
Upacara tradisional dapat didefinisikan sebagai
upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu sampai sekarang
dalam bentuk tata cara yang relatif tetap. Pendukungan terhadap upacara itu
dilakukan masyarakat karena dirasakan dapat memenuhi suatu kebutuhan, baik
secara individual maupun kelompok bagi kehidupan mereka (Dept.P&K, 1985).
Salah satu hal yang menyebabkan besarnya perhatian para ahli mengenai upacara
atau ritus-ritus keagamaan disebabkan karena upacara keagamaan dalam kebudayaan
suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang paling “lahir”,
sehingga lebih mudah diamati (Koentjaraningrat, 1985). Upacara keagamaan itu
sendiri berhubungan dengan sistem kepercayaan yang hidup dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu. Upacara-upacara keagamaan tradisional yang dimaksudkan
dalam tulisan ini adalah upacara yang berhubungan dengan kepercayaan
tradisional Karo yang disebut dengan pemena.
Bagi orang Karo, guru
adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian
melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti : meramal,
membuat upacara ritual, berhubungan dengan roh atau makhluk gaib, perawatan
serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain. Guru
dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang
berhubungan dengan kehidupan.
Secara harfiah sama artinya dengan kata “guru” (lehrer)
dalam bahasa Indonesia. Tetapi sebagai sebuah peranan biasanya diartikan dengan
kata “dukun” dalam bahasa Indonesia (Ginting, 1990). Dalam tulisannya yang
berjudul “De Bataksche Guru” dalam Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap,
Neumann (1910) memandang guru sebagai
suatu “kumpulan informasi”, ahli sejarah, ahli penyembuhan, ahli theologi, ahli
ekonomi dan juga merupakan suatu “ensiklopedi” yang mengembara ditengah-tengah
masyarakat. Dialah yang telah mengumpulkam, mendaftar dan memakai sebagian besar
pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam masyarakat. Untuk melakukan suatu
upacara dengan baik, guru harus mengikuti
aturan-aturan tertentu, suatu hal yang memperlihatkan bahwa kemampuannya memang
banyak. Dia harus mengetahui cerita yang menjelaskan asal upacara itu yang sering
berkaitan dengan asal mula dunia. Dia harus mengetahui tumbuhan-tumbuhan mana
yang diperlukan untuk melaksanakan suatu upacara dan dia harus mengetahui
tindakan-tindakan dan mantera-mantera yang perlu dijelaskan kepada
peserta-peserta lainnya. Guru juga
adalah pemelihara cerita-cerita lama, tradisi-tradisi dan mitos-mitos yang
merupakan harta karun sastra Batak (Ginting, 1986 ).
Seperti yang dituturkan oleh seorang guru perban pangir di Desa Kidupen (lokasi
penelitian penulis) yang dipanggil “Pa Jawi”. Pa Jawi adalah seorang guru
pembuat langir (berlangir). Pa Jawi
harus menentukan berapa jumlah tumbuh-tumbuhan yang harus dipakai sebagai bahan
upacara dan juga mantera-mantera yang diucapkan untuk jenis penyembuhan yang
berbeda pula. Untuk membuat pangir
seorang pasien yang mendapat mimpi buruk akan dikumpulkan bahan-bahan seperti :
jeruk empat macam dan setiap macam berjumlah empat buah, daun-daunan tertentu
seperti besi-besi, sangka sempilet, kalinjuhang, dan lan-lain, juga beberapa
ruas tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Karo disebut buku-buku, seperti : ruas
tebu, ruas batang bambu, ruas batang jagung, dan lain-lain. Dimana pemilihan
jenis tumbuhan ini disesuaikan dengan sifat dari tumbuhan itu sendiri yang
secara simbolik dikaitkan dengan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sifat
tumbuhan itu diharapkan menyatu dengan tubuh pasien dan mencapai kembali
keseimbangannya dan sembuh dari penyakit. Pa Jawi mengatakan bahwa :
“si
sungkuni kai si akapna kurang ibas dagingna, kadena si mesui, e maka si ban
pangirna, si leboh guru si deban si dua lapis perngenin matana, banci idahna
ise si reh i jah nari, ras pe ia ngerana, i sungkun kai kin atena, pemindona
makana ia engganggui, adi enggo si eteh maka si ban pangirna, bereken kai si i
pindo si reh i jah nari, gelah ia laus, kenca bage e maka si sakit pe malem ka
lah ia, malem pinakit”.
(“
Kita bertanya apa yang dianggap pasien kurang enak di badannya, apa yang sakit,
lalu kita buat pangirnya, dan kita panggil guru yang dapat melihat
mahluk halus dan yang mampu berkomunikasi dengan mahluk halus itu, ditanya apa
kemauannya sehingga ia menganggu si pasien, setelah diketahui lalu dibuatkan pangir
untuk si pasien dan dipenuhi permintaan mahluk halus itu, jika demikian, maka
sembuhlah si pasien, penyakitnya sembuh”). Dari penjelasan di atas menunjukkan
bahwa seorang guru harus mampu terlebih
dahulu mendeteksi atau mendiagnosa apa penyebab keadaan sakit atau keadaan tidak
seimbang dalam diri si individu (pasien). Kemudian tahap berikutnya menentukan
jenis upacara penyembuhan dan pengobatan; jenis obat dan jenis mantera yang
diperlukan.
Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Karo, terdapat beberapa sebutan untuk
jenis guru, seperti : guru tua dan guru si nguda / guru sibeluh niktik wari (ahli dalam melihat hari-hari baik
dengan perhitungan waktu, arah dan tempat), guru
nendung (peramal dengan bertanya pada
roh-roh gaib) disebut juga sebagai guru
si erkata kerahung / guru perseka-seka,
yaitu seseorang yang memiliki suara siulan di leher sebagai ucapan roh gaib, guru si
dua lapis pernin matana (seseorang yang dapat melihat
roh-roh gaib), guru perjinujung (seseorang yang disertai dan
dibantu oleh roh-roh gaib untuk melaksanakan penyembuhan dan upacara-upacara
ritual), guru si baso (seseorang yang
dapat berhubungan dan mengundang roh-roh gaib untuk memasuki tubuhnya sehingga
kesurupan dan ahli dalam upacara pemanggilan roh-roh orang yang telah
meninggal, dan mengundang roh tersebut untuk memasuki tubuhnya sebagai medium
(perantara) untuk berbicara dengan kerabat-kerabat yang masih hidup), guru perseluken
(seseorang yang ahli mengundang roh-roh gaib memasuki tubuh orang lain sehingga
kemasukan), guru nabas (seorang ahli mantera), guru
permag-mag (seseorang yang ahli dalam
penyampaian doa melalui nyanyian), guru
pertapa (pertapa), guru pertawar
(penyembuh dengan ramuan obat-obatan), guru
perbegu ganjang (pemelihara roh-roh jahat), guru peraji-aji (ahli
guna-guna atau peramu racun), guru baba-baban (ahli jimat disebut juga guru perberkaten),
guru si majak panteken (ahli membuat pangir/langir
baik sebagai obat penyembuh, penolak bala, atau sebagai tangkal, biasanya guru
ini mempunyai apa yang disebut tungkat malaikat) (Bangun, 1986).
Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja
yang dapat menjadi seorang guru.
Peran sebagai guru dianggap telah
ditentukan dari sejak lahirnya seseorang dengan memiliki tanda-tanda kelahiran
tertentu. Bahkan peran sebagai guru
telah dianggap dimilki seseorang sejak dia berada dalam kandungan Ibunya
berdasarkan kata Dibata si mada
tenuang atau kehendak dari Tuhan sang
pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai guru
sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum termasuk
para guru mengatakan bahwa seseorang
jika proses kelahirannya tidak istimewa, tidak lain dari pada yang lain ataupun
tidak memiliki ciri fisik tertentu, tidak akan dapat menjadi guru jenis apa pun
juga (Bangun, 1986).
KESIMPULAN
Berdasarkan deskripsi yang telah
dipaparkan dalam tulisan ini, pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih
luas mengenai keragaman budaya dan praktek-praktek upacara ritual atau
ritus-ritus tradisional dari kebudayaan Karo. Beberapa dari upacara-upacara
ritual ini masih ditemukan tetap dilaksanakan dibeberapa desa di wilayah Karo,
terutama dengan tujuan untuk penyembuhan beberapa penyakit demi mencapai
keseimbangan dalam diri individu yang disebut dengan keadaan sehat.
Upacara-upacara ritual tersebut ada yang bersifat individual dan ada juga yang
bersifat komunal yang meliputi kepentingan suatu penduduk desa. Untuk tujuan
komunal, ritual itu cenderung dimaksudkan untuk mencegah malapetaka dalam
tingkat desa, atau untuk keselamatan penduduk desa dari suatu ancaman
keselamatan atau bencana alam.
Diharapkan agar kiranya karya tulis ini
dapat bermanfaat bagi kajian-kajian ritual atau religi untuk lebih memahami
keragaman budaya bangsa Indonesia. Satu hal yang perlu ditekankan bahwa dalam
mengkaji kebudayaan lain, kita harus membuang jauh-jauh sikap “enthnocentrisme”
yang hanya menganggap bahwa kebudayaan kita selalu lebih baik dari kebudayaan
orang lain. Melainkan, kita harus mengembangkan sikap “relativisme budaya”,
dimana kita harus melihat bahwa kebudayaan lain itu sebagaimana adanya, baik
dan berguna terutama bagi pendukung kebudayaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Inti Idayu Press. Jakarta.
Bukit, Basita. 2005. Seni & Budaya – Tirai, Menguak Gairah
Pariwisata Karo. http://www.waspada.co.id.
[Update : 4 April 2007, 8:24 PM].
Dept. P&K. RI. 1985. Upacara Tradisional Daerah
Jambi. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta.
Ginting, J.R. 1986. Pandangan Tentang Gangguan Jiwa dan
Penanggulangannya Secara Tradisional Pada Masyarakat Karo. Skripsi Sarjana,
Jur. Antropologi-FISIP-USU.
Ginting, J.R. 1990. Karo Guru and His Practices. Artikel
untuk Katalog Museum Stuttgard-Jerman.
Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia.
Balai Pustaka. Jakarta.
Neumann, J.H. 1910. “MNZG” (1-18) dalam Pandangan
Tentang Gangguan Jiwa dan Penanggulangannya Secara Tradisional Pada Masyarakat
Karo. Skripsi Sarjana : Ginting J.R. (1986), Jur. Antropologi-FISIP-USU.
Walujo, Eko Baroto. 1992. Tumbuhan Dalam Kehidupan Tradisional
Masyarakat Dawan Di Timor. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnoboani
I. Cisarua, 19 – 20 Februari 1992.
0 comments:
Post a Comment