Wednesday, March 21, 2012

Pelestarian Lingkungan dan Penanggulangan Kemiskinan

Para pelopor lingkungan hidup era 1970-an di Indonesia berharap agar kontroversi yang telah lama berlangsung mengenai pembangunan (termasuk upaya penanggulangan kemiskinan) dan pelestarian lingkungan hidup akan lenyap dengan makin meningkatnya kesadaran berlingkungan. Di antara mereka yang paling pesimis pun yakin bahwa dalam waktu 20 tahun kontroversi ini akan berakhir (terutama pada tingkat pengambilan keputusan).
Namun, nyatanya 35 tahun kemudian kontroversi ini masih berlangsung juga. Kerusakan lingkungan adalah menurunnya kualitas lingkungan sehingga lingkungan tersebut tidak dapat lagi berfungsi dalam menunjang kehidupan yang berkelanjutan. Fungsi-fungsi lingkungan ini secara langsung maupun tak langsung semuanya dipandang dari segi mendukung kepentingan hidup manusia, baik fungsi ekonomis, ekologis, sosial, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kerusakan lingkungan merupakan kerugian bagi manusia. Maka pelestarian lingkungan logikanya adalah berbanding searah dengan kesejahteraan manusia. Sebagai contoh, suatu kasus pencemaran air sumur di sebuah pemukiman di Surabaya. Masyarakat setempat harus membeli air untuk kepentingan sehari-hari, padahal sebelumnya mereka mendapatkan air secara gratis dari sumur-sumur miliknya sendiri. Jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli air rata-rata sekitar 20% dari pendapatan mereka. Ini berarti daya beli mereka menurun 20%. Dengan demikian, jelas bahwa kerusakan lingkungan berbanding terbalik dengan kesejahteraan manusia. Kasus di atas tadi belum meliputi kepentingan antar generasi. Dalam kasus-kasus lainnya, walaupun kerusakan yang berlangsung saat ini belum sempat merugikan generasi saat ini, tetapi pada akhirnya akan terjadi kelangkaan sumber daya alam yang menurunkan potensi kesejahteraan generasi-generasi mendatang. 
Mereka yang menentang logika ini berpendapat bahwa jalan pikiran seperti itu bersifat “teoretis” dan tidak sesuai dengan “kehidupan nyata”. Pada kenyataannya, menurut pandangan ini, kewajiban untuk tetap melestarikan lingkungan akan meningkatkan biaya produksi, dan akibatnya adalah masyarakat harus membayar lebih untuk membeli produk-produk tersebut. 
Demikian pula, karena biaya produksi lebih tinggi, maka perhatian kepada lingkungan akan melemahkan daya saing. Harga produksi yang lebih tinggi mempengaruhi daya beli, sementara melemahnya daya saing mempengaruhi penyediaan kesempatan kerja. Maka menurut logika ini, perhatian kepada lingkungan justru akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Tetapi, betulkah cara berpikir dengan logika ini?

EKONOMI VERSUS LINGKUNGAN?
Logika tersebut di atas memang sering sekali dijadikan “tema” dalam konflik lingkungan hidup. Maka berkembanglah istilah “ekonomi versus lingkungan” yang membuat orang semakin ragu-ragu dalam mengambil keputusan melestarikan lingkungan hidup. Memang pengelolaan lingkungan penuh dengan konflik. Tetapi benarkah konflik ini sebenarnya adalah konflik antara kepentingan ekonomi dan kepentingan pelestarian lingkungan? 
Hampir semua konflik dalam pengelolaan lingkungan menyangkut pilihan antara rencana suatu kegiatan proyek atau kebijakan yang dibutuhkan dibandingkan dengan dampak lingkungan yang mungkin timbul sehingga merugikan manusia. Sebagai contoh, penggunaan lahan untuk kegiatan tambang Golongan C; pembangunan pabrik di lingkungan yang rentan; pembangunan jalan menembus hutan; penambangan di kawasan penyimpanan air; dan lain sebagainya. Bila ditilik lebih dalam, konflik yang ada sebenarnya adalah konflik antara sekelompok kecil orang demi kepentingan diri atau kepentingan kelompok dalam jangka pendek, melawan kepentingan orang banyak dalam jangka panjang. Dalam konflik semacam ini, karena kelompok kecil dengan sumber daya kuat kepentingan umum pun akhirnya dikalahkan. Pada akhir proyek, masyarakat menderita karena lingkungannya rusak. berhadapan dengan kepentingan orang banyak yang lemah, maka.
Beberapa hal juga perlu kita teliti lebih lanjut dalam menghadapi kontroversi kewajiban pabrik untuk mengolah limbah yang menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga selanjutnya menurunkan daya saing produksi. Pertama, jika produsen tidak mengolah limbahnya, tidak berarti biaya yang timbul karena limbah/
emisi yang dihasilkan menjadi “hilang”. Biaya yang tidak dikeluarkan  oleh produsen hanya dialihkan kepada orang-orang yang hidup di sekitarnya dalam bentuk gangguan kesehatan, kelangkaan air, gangguan saluran pernapasan, dan sebagainya. Pada akhirnya ini menjadi masalah keadilan. Apakah biaya lingkungan harus dipikul oleh produsen/konsumen barang, atau oleh orang-orang yang hidup di sekitar pabrik yang tidak mendapatkan manfaat dari kegiatan produksi di lokasinya? 
Kedua, biaya lingkungan dari kegiatan produksi jumlahnya tidak terlalu besar sehingga mempengaruhi daya saing. Ketika para produsen ditanya, misalnya tentang biaya pengolahan limbah relatif terhadap biaya produksi industri tekstil (pencelupan), jawabannya selalu berkisar antara 20% - 40% dari biaya produksi. Sebuah survey menunjukkan bahwa biaya yang keluar untuk pengolahan limbah yang benar (memenuhi ketentuan peraturan) adalah sekitar 2%. Kenaikan 2% ini terlalu kecil untuk mempengaruhi daya saing. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak benar bahwa upaya pelestarian lingkungan menimbulkan biaya produksi tinggi sehingga dapat meningkatkan kemiskinan. 
Apa yang banyak terjadi di berbagai negara berkembang, khususnya Indonesia pada era tahun-tahun 1980-an dan 1990-an, adalah adanya peningkatan pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan secara umum, yang kemudian disertai dengan percepatan terjadinya kerusakan lingkungan. Apakah kejadian ini menunjukkan bahwa hubungan antara keduanya bersifat bertentangan arah? Untuk menjawabnya, perlu kita perhatikan situasi ekonomi Indonesia pada kurun waktu tersebut. Scientific American (1989) misalnya menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia pada saat itu ditentukan oleh kegiatan-kegiatan yang bersumber pada sumber daya alam (mencapai 79%). Ekonomi yang bertumpu kepada eksploitasi sumber daya alam ini sangat berhubungan dengan kerusakan lingkungan hidup. Kenaikan tingkat hidup serta penurunan tingkat kemiskinan yang didorong oleh ekspolitasi sumber daya alam ini dengan sendirinya bukan saja mengurangi cadangan sumber daya alam tetapi juga merusak lingkungan. Dampak dari kerusakan lingkungan ini baru terjadi pada generasi berikutnya, ketika sumber daya alam yang semakin langka tidak mampu lagi menunjang pembangunan. 
Lingkungan hidup yang rusak juga tidak mampu menunjang kehidupan. Jadi, kenaikan kesejahteraan dengan merusak lingkungan bukannya tidak mungkin terjadi. Hanya saja, peningkatan kesejahteraan yang terjadi bersifat sementara, tidak berkelanjutan, dan dampaknya di kemudian hari justru negatif.

0 comments:

Post a Comment